Materi MOdul : Kuliah Tauhid
Judul Materi : Perjalanan Tauhid Perjalanan Keyakinan
(+ 5 esay tambahan)
Seri Materi : KDW0107 Seri 07 dari 41 seri/esai
Tanggal 30 Agustus 2008, diselenggarakan pertemuan tatap muka (kopi darat) antar-peserta, pengelola web, dan saya. Tapi saya meminta maaf sedalam-dalamnya kepada Peserta KuliahOnline yang datang di pertemuan kemaren sore sebab saya harus keluar dari pesantren.
Subhaanallaah, saya berdoa semoga semuanya menikmati sajian Allah di dalam kehidupan pesantren yang mereka berada di dalamnya. Ketika saya memonitor
lewat handphone, terdengar suara asaatidz pondok beserta para santri yang
mengaji surah al Waaqi’ah yang mudah-mudahan diikuti oleh semua Peserta
KuliahOnline. Maghrib dan isya juga dilakukan di pesantren bersama-sama
dengan para calon Penghafal al Qur’an yang dibina di Daarul Qur’an.
Saya meminta maaf tidak bisa menjamu kawan-kawan semua dengan sempurna sebab
ketidakhadiran saya. Sungguhpun kami sudah berusaha memberikan yang terbaik, tapi tetap saja semua beranggapan kurang asem garem. Sebab sayanya tidak hadir. Padahal biasanya kan memang juga tidak hadir, he he he.
Namanya juga KuliahOnline, he he he. Dan saya kira, sebab-sebab yang begini
inilah kemudian dicari sistemnya dalam sistem Online. Sesuatu pelajaran dan
atau pengajian yang digelar tanpa kehadiran fisik. Alhamdulillah, acara
kemaren sore berjalan juga satu dua misi. Di antaranya mempertemukan peserta
KuliahOnline dengan tim IT WebOnline dan juga bertemunya para peserta KuliahOnline satu sama lainnya dari berbagai entitas dan daerah.
Dan saya kira ini adalah salah satu manfaatnya juga.
Apalagi mereka bisa makan makanan pondok. Sesuatu yang barangkali jarang-jarang terjadi bagi sebagian yang lain.
Waba’du, saya udah usahakan untuk hadir. Ketika saya tetapkan tanggal 30, sesungguhnya itu juga adalah doa buat bayi saya. Saya berharap Allah subhaanahuu wata’aala memulangkan bayi saya di siang harinya.
Biar kedatangannya di sore hari di rumah bisa disambut para santri,
asaatidz dan tamu-tamu istimewa saya; peserta KuliahOnline. Saya undang juga
beberapa komunitas Wisatahati di sana, seperti Peserta Pesantren Riyadhah,
Peserta Kuliah Tatap Muka nya Wisatahati yang sempat diselenggarakan (sementara udah ditutup), dan beberapa simpul donatur.
Ternyata Kehendak Allah lain. Saya masih bersama bayi saya. Dan malah saat itu, terjadi hal-hal yang sungguh akhirnya saya malah pulang kerumah jam 23.30!!! saya harus memainkan peranan sebagai ayah yang baik, suami yang baik,
anak yang baik, mantu yang baik, pimpinan pondok yang baik, bahkan kawan yang baik bagi seorang kawan yang mau bunuh diri pada malam itu! Wuah, komplit.
Saya berdoa kepada Allah agar peserta KuliahOnline yang datang kemarenan
bersilaturahim diberikan keberkahan tersendiri sebab kedatangannya ke tempat
yang banyak sekali amal di dalamnya (pesantren).
Alhamdulillah, di situasi-situasi seperti ini (full-traffic) akhirnya Allah mengizinkan KuliahOnline ini berjalan. Salah satu manfaatnya adalah
ketidakterbatasannya waktu. Bagi yang tidak bisa mengakses harian, ia bisa
mengumpulkan dalam beberapa hari. Baru kemudian diikuti materinya dalam hitungan sekali belajar sekian materi. Namun saran saya, akan tidak efektif
rasanya belajar seperti itu. Itu kan sama saja saudara belajar di SMP-SMU
tapi ga masuk-masuk. Sekalinya masuk, di beberapa hari menjelang ujian saja. Luangkanlah waktu Saudara. Insya Allah apa yang Saudara pelajari dan apa yang
Saudara akan pelajari, bermanfaat untuk kehidupan saudara dan keluarga saudara. Apalagi bila saudara berkenan sedikit repot dengan membagi
pelajaran-pelajaran yang saya bagikan ini kepada orang lain.
Insya Allah akan bertambah-tambah banyaklah amal kebaikannya. Dan itu pun, kalau Saudara berkenan membagi-bagikan pelajaran, dicicil juga.
Jangan dikasihkan sekaligus. Saya khawatir. kalau dikasihkan sekaligus,
akan menjadi bacaan biasa. Tidak merupakan kuliah berseri yang
akan membentuk kepribadian. Haus ya haus. Tapi ya biasa aja. Biar ga kembung,
he he he. Sementara tetap ada banyak yang bertanya, kenapa sih engga dibuka aja kanal-kanal materi lain? Kan materi-materi itu juga bisa dicicil
belajarnya? Engga. Saya bertahan untuk memberikan kuliah-kuliah fundamental ini. Dan saya berdoa agar semuanya diberi kesabaran.
Tentang kejadian bayi saya, ada cerita menarik yang saya akan tuliskan sebagai esai kuliah mendatang. Saya menulis ini habis shubuh. Subhaanallaah, sebelum
tahajjud saya sempat bermain dengan Muhammad Kun Syafi’i, kakaknya Muhammad
Yusuf al Haafidz bayi saya. Kun baru berusia 1 tahun 1 bulan. Dia sudah punya
adik lagi, he he he. Produktif ya. Saya menyempatkan berbagi tengokan.
Kadang ke pesantren di Bulak Santri. Kadang ke pesantren di Ketapang. Dua tempat yang merupakan karunia buat negeri ini. Di keduanya berkumpul
santri-santri yang menghafalkan al Qur’an untuk disebarluaskan lagi ke seantero buminya Allah.
Di edisi mendatang, Kekuasaan dan Keajaiban Allah di bayi saya, mudah-mudahan menjadi pengajaran buat kita bahwa Allah itu memang patut diyakini
Keberadaan-Nya dan ga boleh lagi ada keraguan! Sungguh, Dia ada banget-banget.
Ga jauh-jauh dari kita. Bahkan di surah al Waaqi’ah yang kemaren Peserta
KuliahOnline baca bersama para santri, ada bahagian ayat yang berbunyi:
“Dan Kami sesungguhnya teramat dekat dengan kalian, tapi kalian tidak bisa
melihat”. Tapi sebelum saya jadikan kondisi bayi saya dan apa yang terjadi
di seputaran waktu terakhir-akhir KuliahOnline ini saya selangkan sebagai
materi kuliah, kita bahas dulu materi
kuliah sambungan yang memang sudah disiapkan jauh-jauh hari. Bismillah ya. Kita berdoa
terus agar Allah semakin memperkenalkan diri-Nya dengan diri kita dan semakin sayang
kepada kita, sungguhpun kita sering menyakiti-Nya, sering mengecewakan-Nya, sering
bertanya tentang Pertolongan dan Kuasa-Nya, dan sering mengeluhkan tentang rizki-Nya di
saat mestinya Dia marah dengan kelakuan kita. Subhaanallaah astaghfirullah.
Oh ya, kali ini istimewa. Saya sajikan langsung 5 esai kuliah yang mestinya saya bagi
menjadi 5 esai kuliah buat 5 hari ke depan. Sebelum meneruskan menyiapkan esai hari ini,
saya sempatkan membaca imel-imel yang masuk, pertanyaan-pertanyaan yang masuk, ke
meja redaksi. Mudah-mudahan kebijakan saya yang sudah saya langgar ini (mestinya tetap
esai ringan per pertemuan, dan berlangsung terus menerus selama 41 hari), menjadi sebuah
percepatan yang diridhai Allah. Adapun maksud dan tujuan saya adalah sekaligus sebagai
bekal masuk ke bulan suci Ramadhan (sewaktu esai ini dinaikkan, adalah satu hari
menjelang tanggal 1 Ramadhan, web admin). Memang kuliah ini bukan kuliah khusus
tentang Ramadhan, tapi perkara tauhidnya sangat-sangat terkait dengan Ramadhan. Kalaupun
tidak terkait, kelak ia akan terkait juga. Harapan saya, agar Ramadhan ini menjadi bulan
penuh support dari Allah dalam upaya kita mencari diri-Nya.
Ok, mari kita pelajari 5 esai berikut ini.
Bercanda Dengan Allah
Ketika kita dilanda kesusahan,
“bercandalah” dengan Allah.
Seberapa percayanya kita sama Allah? Ini yang menjadi pertanyaan tauhid dan iman kita
pada-Nya. Allah akan bekerja sesuai dengan kepercayaan kita pada-Nya. Memang kadang
sesuatu berjalan “seperti” tidak sesuai kepercayaan kita pada-Nya. Tapi yakinlah, kita akan
kaget sendiri manakala kita teguh berdiri pada apa yang kita yakini.
Tahun 1999, saya lepas dari penjara kepolisian. Sebab ada perjanjian tidak tertulis (damai),
bahwa unsur pidana akan dihilangkan jika saya menerima kasus ini betul-betul dijadikan
kasus perdata. Saya menerima. Padahal saat itu, untuk menerima kasus ini, berat. Saya tidak
berada langsung di balik kasus ini. Ini kasus saya yakini sebagai kasus-kasus istidraj. Istidraj
ini artinya dimainkan Allah. Kita punya salah di jalan A, tapi Allah hidangkan kesusahan
ketika kita berjalan di jalan B. Maka kasus ini saya terima, dengan pertimbangan mudahmudahan
Allah memaafkan kesalahan saya di tempat lain yang barangkali hukumannya
adalah ini.
Tapi efek dari penerimaan ini, saya bilang di atas, berat. Apalagi untuk kondisi saya saat itu.
Saya harus membayar 86 juta rupiah dalam waktu hanya 1 bulan. Kalau tidak, maka kasus ini
dinaikkan lagi, dan terus berlanjut sampe ke LP. Dan saya “diwajibkan” untuk menyerahkan
diri sendiri tidak perlu dijemput petugas. Begitu.
Kondisi saya saat itu, sebagaimana saya ceritakan dalam buku “Mencari Tuhan Yang
Hilang”, bener-bener minus. Keluarga nyerah. Sebab emang 86 juta itu bahagian dari hutang
1 milyaran yang harus saya bayar. Kawan-kawan juga pada minggir semua. Ga ada.
Kemudian bayangan bakal kebayar, ga bakal ada. Boro-boro buat bayar, buat ongkos pulang
dari kantor kepolisian menuju rumah transitan (saya belum bisa pulang sebab satu dua hal
saat itu) saja saya bingung. Dan setelah pulang nanti, makan apa, pakai pakaian apa, saya
bingung.
Saudara-saudaraku peserta KuliahOnline. Kondisi saya saat itu parah. Pakaian, hanya
selembar. Bener-bener hanya selembar. Selama 14 hari saya di dalam tahanan, saya tidak
ganti baju! Dan tentu saja saya tidak pakai lagi celana dalam, maaf. Duh, hampir nangis nih
saya nulis ini. Tapi saya ga bisa nangis. Sebab sambil saya nulis ini, saya sambil jagain si
abang Kun (putra ketiga saya yang masih berumur 1 tahun 1 bulan tadi), dan sesekali jawabjawab
sms dari TV dan dari kawan-kawan pondok yang butuh koordinasi cepat. Kalau saya
hanya menulis tentang ini, niscaya saya sudah akan menangis.
Tapi perjanjian itu saya iyakan saja. Saya ga mau mikir jauh. Yang penting bisa keluar dulu,
he he he. Cuma, saya pasang niat bener. Bahwa saya bener-bener akan bayar.
Nah, saat itulah saya bercanda sama Allah. Saya menikmati betul candaan itu. Deket sekali
terasa Allah itu. Dan memang Dia itu dekat.
Begini, kan ketahuan tuh bahwa saya secara hitungan matematis ga bisa bayar? Bila saya ga
bisa bayar dalam satu bulan, maka saya harus menyerahkan diri lagi. Tapi darimana nyari 86
juta dalam 1 bulan? Terutama dalam keadaan saya seperti itu? Saat itulah, semua prinsipprinsip
dasar Wisatahati, dimulai dipraktekkan. Tapi belum ditulis saat itu. Di antaranya:
konsentrasi jangan di 86 juta. Tapi di pencarian menuju Allah saja; nyari ridha-Nya, nyari
ampunan-Nya. Untuk masalah? Jangan dipikirin! Ntar stress sendiri. Sampe sini,
kelihatannya ga adil ya? Biar saja. Allah yang tahu hati saya. Sungguh, dengan cara begini,
saya justru sedang berikhtiar membayar 86 juta tersebut! Persis dalam waktu 1 bulan. Saya ga
tahu saya bisa bayar atau tidak. Tapi yang saya paham, Allah pasti bisa. Jadi, ngapain juga
saya pikirin, biar saja Allah yang mikirin! Gitu lah pikiran saya. Biar saja Allah yang urus.
Biar saja Allah yang akan menyiapkan sejumlah uang tersebut. Dengan cara-cara-Nya. Bukan
dengan cara-cara saya.
Lalu apa yang saya lakukan? Saya melakukan perbaikan dan perubahan di ibadah-ibadah
saya saja; shalat ditepatwaktuin, shalat-shalat sunnah qabliyah ba’diyah, dhuha, tahajjud,
witir, baca al Qur’an, zikir, dipolin. Ikhtiar saya apa? Ya itu lah ikhtiar saya. Kan susah loh
menjaga rutinitas ibadah dalam keadaan puyeng? Iya ga? Yang ngalamin ini yang bisa jawab
dah.
Selebihnya, saya menawarkan kepada Allah menjadi tentara-Nya. Saya ngajar sana sini,
ngajar al Qur’an, ngajar komputer, ngajar bahasa, ngajar madrasah, dan lain-lain. Gaji-gaji
dari kerjaan-kerjaan saya itu, saya polin buat Allah. Saya tahu ga bakalan mungkin cukup
kalau saya tabung. Jadi, saya ambil saja buat makan, selebihnya tos-tosan saja buat Allah.
Hingga di pertengahan bulan, saya megang uang nih, dari hasil jualan es dan jadi tukang
fotokopi. Besarnya 27.500 rupiah. Uang ini saya timang-timang. Saat itu melintas di pikiran
saya, mau bercanda sama Allah!
Saya datangi sekolahan di belakang saya bekerja sebagai tukang fotokopi. Saya minta
dihadirkan satu anak yatim yang pintar untuk saya bayarin SPP nya bulan itu. Dihadirkanlah
satu anak yatim. Permpuan. Namanya Ummi. Saya katakan padanya, bayaran sekolahnya,
bulan ini, saya yang bayarin.
Habis saya bayarin itu, saya gelar sajadah. Saya sujud. Saya katakan kepada Allah yang bagi
sebagian yang lain kalimatnya mungkin aneh. Tapi bagi saya, biar saja. Itu ungkapan saking
deketnya saya sama Allah. Kurang lebihnya, “Ya Allah, saya udah bayarin tuh satu anak
yatim SPP nya. Dan Engkau juga tahu, kalau bulan depan, yang tinggal dua minggu lagi, saya
ga bisa bayar hutang yang dibebankan kepada saya, maka saya dipenjara lagi. Ya Allah,
tinggal Engkau pilih dah. Kalau Engkau masih tetap membiarkan saya bebas, dan ada waktu,
maka saya terusin bayarannya tuh anak yatim. Tapi kalau engga, ya saya bayarin lagi. Sebab
ga bisa bayar lagi emangnya”.
Habis itu saya bangun dari sujud, dan segar rasanya. Saya yakin sekali Allah tidak akan
mengambil keputusan saya ditangkep lagi. Sebab tarohannya anak yatim. Saya tertawa kecil,
seraya meminta maaf kepada Allah.
Dua minggu kemudian peristiwa yang saya sempat khawatirkan, tidak terjadi. Ya, saya boleh
sombong sedikit. Saya katakan, saya sempat khawatir saja, bukan khawatir. Sebab apa?
Sebab saya serahkan sepenuhnya kepada Allah. Kenapa saya harus khawatir. sudah dengar
kan audio yang saya upload? Judulnya: Kenapa Harus Khawatir Padahal Ada Allah? Ya,
itulah yang terjadi sama saya.
Nah, karena saya “lolos”, ya saya jalanin janji saya. Saat itu hutang tetap belum lunas. Saya
kemudian sadar, doa saya belum sempurna. Kali ini saya sempurnakan.
Saya datang lagi ke sekolah tersebut, saya bayarin lagi SPP anak tersebut. Kemudian saya
balik lagi dan sujud, seraya mengatakan (kurang lebih), “Ya Allah, makasih. Udah nolongin
saya. Tapi saya hanya bebas doangan sementara. Sebab hutangnya belum selesai. Ya Allah,
saya akan tambahin dari sekarang, 1 SPP lagi untuk 1 anak yatim yang lain. Saya mohon
kepada-Mu ya Allah, kali ini, dengan wasilah amal ini, bayarkanlah hutang tersebut”.
Subhaanallah, Allah rupanya juga bercanda bersama saya. Masalah itu insya Allah bergulir
sempurna penyelesaiannya. Dan tahu ga? Anak yatim kedua yang saya bayarin, namanya
Maemunah. Dan Maemunah ini beberapa bulan kemudian jadi istri saya! Maemunah saat
saya nikahi, masih duduk di bangku SMP kelas 3. Dan dia satu sekolah dengan si Ummi tadi.
Secuplik kisah-kisah saya, saya tebar di berbagai buku saya. Silahkan dikoleksi ya. Saya
bukan promosi, tapi sedang jualan, ha ha ha.
Ya sudahlah. Inilah kisah saya. Saya anggap ini kisah perjalanan tauhid. Kisah perjalanan
saya mencari Tuhan. Mencari Tuhan yang hilang dari diri saya, dari hati saya. Maka nya
kelak kemudian kisah-kisah perjalanan saya diberi judul: Wisatahati Mencari Tuhan Yang
Hilang.
Di esai KuliahOnline berikutnya, kita akan pelajari kisah hebatnya keyakinan seorang tukang
nasi yang kemudian membawanya pada perubahan hidup. Ya saudara-saudaraku, jika kita
percaya dan yakin sama Allah, insya Allah hidup kita akan berubah ke arah yang kita
kehendaki. Semua memang butuh perjalanan waktu, tapi percayalah, perjalanan waktu ini
akan sampai juga. Sampe ketemu di esai berikutnya.
***
Air Gula Untuk Bayiku
Saya yakin Allah tidak akan menyia-nyiakan amal kita. (IS).
Awal tahun 2007, IS menonton TV. Di sana ada saya katanya sedang bertutur, bahwa kalau
mau ditolong Allah, tos-tosan saja sedekahnya. Dan insya Allah akan diganti sama Allah
dalam 1 minggu. Itu kalau kita percaya Allah menggantinya dalam 1 minggu.
Saat itu, ia ada uang 1 juta. Uang itu sejatinya ditahan untuk tabungan bayar kontrakan yang
2 bulan lagi bakalan habis. Juga susu anak, listrik, dan lain-lain.
IS dan istrinya sepakat untuk menyedekahkan uang itu, dengan segala resikonya.
Sekian minggu ia tunggu keajaiban sedekah, tapi tak kunjung datang. Susu anak sudah ia
gantikan dengan air gula. Masa katanya mati. Ia kasih biskuit2 kecil pengganjel makanan.
Rasa sesal di hati istrinya selalu ia tepis dengan keyakinan bahwa Allah tidak mungkin
menyia-nyiakan iman dan amal salehnya a/ janji-janji Tuhannya.
Keyakinan dan kesabarannya berbuah. Keridhaan bayinya juga meminum air gula, membuat
keberkahan Allah datang. Dan datangnya ga maen-maen. Ia dapat order menangani katering
16rb orang 3x sehari, alias katering dengan 48rb porsi per hari. Ini menjadi berkah buatnya.
Hanya dalam hitungan beberapa bulan saja, uangnya sudah 1 milyar.
Dari dia, ada pesan yang disampaikannya lewat saya. Sekali sudah ditempuh jalan Allah,
tidak ada cerita tidak berhasil. Pasti berhasil. Hanya, sabar, dan terus jalani kehidupan ini.
Biarlah ia mengalir, melewati tikungan anak sungai yang namanya kesulitan, kesukaran,
sebagaimana alaminya alam ini yang berisi dua hal; kesenangan dan kesusahan. Sungai pasti
ada ujungnya. Dan inilah yang menjadi keyakinan kita.
Ada juga bumbu kisahnya yang tak kalah menariknya. Di tengah situasinya yang hampir
bener-bener game over, hampir mereka ini pinjam uang ke kerabat dekat, atau bahkan orang
tua. Tapi mereka ga jadi minjem. Mereka bilang, andai mereka jadi pinjam, maka Allah
belum tentu bakal turun tangan. Mereka saat itu pasrah. Andai mereka diusir dari
kontrakannya, andai mereka tidak bisa bayar listrik kontrakannya lalu malu kepada yang
punya kontrakan, andai mereka tidak bisa membeli susu buat bayinya lalu bayinya jadi sakit,
atau mati sekalipun, maka biarlah Allah tahu, bahwa semua ini terjadi sebab mereka berdiri di
atas keyakinannya akan janji-janji Allah. Masa iya itu semua akan terjadi? Begitulah IS dan
istrinya meyakinkan diri mereka. Dan sekalian saja pikir mereka, mereka betul-betul kosong,
supaya Allah segera menunjukkan Kuasa-Nya. Subhaanallaah.
Di saat “bercanda” dengan kesusahannya, IS dan istrinya menawar sebuah rumah bagus. Ga
tanggung-tanggung seharga 700 juta, sebagai “alternatif” andai mereka benar-benar diusir
dari kontrakannya. Dia tawar rumah tersebut, dan mengatakan akan membayar dalam tempo
2 bulan. Cara bicaranya meyakinkan, sungguhpun si pemilik rumah tidak yakin dengan
penampilan pembeli rumahnya. Dan itu kelak benar-benar terjadi. Masya Allah. Bahkan
bukan hanya rumah itu yang bisa ia beli tepat waktu. Tapi juga ia bisa membangun satu
perusahaan katering dengan aset hampir 20 milyaran dalam tempo hanya 1 tahun. Bahkan
untuk tahun 2008, dia memegang kontrak katering yang sangat-sangat besar. Sejumlah 37
milyar rupiah.
Subhaanallaah, alhamdulillah.
***
Menjadi Lemah
Hanya bersandar kepada Allah dan yakin pada pertolongan-Nya,
kita menjadi kuat.
IS, sang penjual nasi yang mendapat berkah tersebut, belum tentu mendapatkan berkah yang
begitu banyak, andai ada perubahan suasana hati.
Koq jahat bener ya Allah? Hanya gara-gara perubahan suasana hati,lalu berkah amal saleh
Allah tidak beri. Ya memang ini akan jadi diskusi panjang. Mudah-mudahan bisa dibahas di
lain tempat.
Sekarang, kita coba bahas IS tersebut.
Allah menyuruh kita percaya pada-Nya, mengikuti seruan-Nya, dan bersandar hanya pada-
Nya. Lalu IS dan istrinya percaya pada Allah. Dia sedekahkan uang 1jt-1jt nya yang ia punya,
padahal uang ini sejatinya untuk bayar kontrakan dan bayar ini itu.
Ternyata, sampe hampir dua bulan, Allah ga balas-balas tuh amal salehnya. Setidaknya
menurut pengetahuan dan perasaannya. Kan, kadang begini, Allah sebenernya udah balas,
cuma kitanya aja yang ga berasa. Sebab belum tentu juga balasan Allah itu hanya uang. Bisa
juga balasannya berupa panjang umur, sehat, anak sehat, keluarga bahagia, dan seterusnya.
Tapi oke lah, IS dan istrinya menunggu balasan Allah. Tapi ya itu tadi, balasan Allah ga
kunjung datang.
Ketika kesulitan relatif memuncak; Kontrakan udah mau habis, air susu anak sebagaimana
diceritakan sebelumnya sudah diganti dengan air gula, mereka berinisiatif untuk meminjam
kepada orang tuanya. Tapi mereka urungkan ini. Mereka khawatir mereka menjadi lemah.
Saya mengamini, ya mereka akan menjadi lemah, manakala mereka berpindah sandaran.
Mereka udah benar. Bertahan saja dengan kesusahannya itu. Makin susah, makin baik. Biar
Allah tahu bahwa mereka jadi tidak bisa bayar kontrakan sebab uang kontrakannya
disedekahkan. Biar Allah tahu bahwa anak mereka mengalah minum air gula sebab jatah
susunya disedekahkan.
Kondisi-kondisi begini kalo dibawa ke shalat malam lalu diadukan ke Allah, wuah, cakep
banget. Bahasanya tentu saja bukan bahasa mengeluh. Tapi bahasa pasrah. Misal, “Ya Allah,
kami serahkan uang kami kepada-Mu. Sedang Engkau tahu tidak ada yang kami miliki lagi
kecuali itu. Dan Engkau pun tahu ya Allah, bahwa uang itu sedianya untuk membayar
kontrakan, susu dan yang lain-lainnya. Ya Allah, andai balasannya adalah ampunan-Mu,
kasih sayang-Mu, ridha-Mu, kepanjangan umur kami dalam keadaan sehat dan beriman,
maka tidak mengapa ya Allah Engkau tidak membalas sedekah kami dengan uang. Tapi ya
Allah, kami pun tahu bahwa Engkau tidak akan mengingkari janji, dan Engkau lah Yang
Maha Memberi Rizki, Engkau pula Yang Maha Memenuhi Kebutuhan-kebutuhan kami…”.
Nah, kalo kita sudah melengkapi dengan doa semacam ini, dengan kepasrahan semacam ini,
cakep bener tuh. Sayang, kalo kemudian kita “melengkapi” sedekah atau amal kita, dengan
malah pindah sandaran ke manusia.
Saya membayangkan, andai IS bener-bener minjam ke orang tuanya, bisa saja IS dapat uang.
Tapi kemudian pertolongan Allah tidak akan bener-bener terasa. Beda, kalau udah setengah
pingsan, kemudian pertolongan Allah datang, wah, ini baik benar untuk menambah
keyakinan dan iman kita. Akan terasa benar pertolongan Allah itu.
Apalagi kenyataannya, belum tentu ketika IS dan istrinya minjam ke orang tuanya lalu orang
tuanya menyediakan, atau orang tuanya ada uangnya. Belum tentu. Jangan-jangan malah
menjadi lemah kita adanya.
Misal, terjadi dialog yang melemahkan seperti ini. Kita berandai-andai istrinya IS yang maju
ke orang tuanya:
(+) Pak, boleh saya pinjam uang?
(-) Suamimu kemana?
(+) Ada.
(-) Kalo ada, koq minjem uang sama Bapakmu ini?
(+) Ada. Tapi uangnya yang ga ada.
(-) Emangnya ga kerja?
(+) Kerja.
(-) Koq kerja ga ada duitnya? Buat apa kerja?
(+) Sebenernya ada sih Pak.
(-) Loh, kalo ada, koq masih tetap minta sama Bapak?
(+) Uangnya disedekahkan dua bulan yang lalu.
(-) Maksudnya?
(+) Ya, dulu ada duit. Tapi ngelihat Ustadz Yusuf di TV.
(-) Apa hubungannya?
(+) Katanya, kalo mau kaya, ya sedekah apa yang kita punya.
(-) Wah, ya engga gitu. Sedekah koq pengen kaya.
(+) Ya, saya juga sudah sampaikan itu.
(-) Terus, suamimu tetap maksa?
(+) Iya.
(-) Ya, sudah. Itu kebodohannya.
(+) Tapi Pak, saya butuh banget uang itu. Buat susu anak. Sama kontrakan.
(-) Ya, minta sama suamimu itu. Berapa uang yang dulu kamu sedekahkan?
(+) 1 juta Pak
(-) Bagus! Bapakmu ini saja ga pernah dikasih uang 1 juta…
Nah, kalo situasi dialog ini yang terjadi, kira-kira apa yang akan terjadi? Lemahlah istrinya,
dan tidak baguslah hubungan antara mertua dan mantunya itu. Bahkan, sang istri pun
sekarang akan jadi serba salah.
Tapi kemudian IS dan istrinya memilih keep silent. Dia pasrah saja sama Allah. Ya akhirnya
kejadian dah apa yang diceritakan di tulisan sebelumnya ini. Wallahu a’lam.
***
Uang bensin yang ditukar 1000x lipat
Allah percaya kepada manusia. DIA berikan dan DIA titipkan alam ini pada
manusia. DIA bahkan titipkan rizki dan karunia khusus untuk manusia. Tapi
manusia banyak yang tidak percaya pada-Nya.
Sampe mana kepercayaan akan janji Allah itu bisa bekerja untuk kehidupan kita? Sampe
tidak ada “koma”nya. Melainkan hanya ada “titik”. Titik ya titik, alias percaya ya percaya.
Jangan ada tanda tanya ke Allah. Dan jangan ada keluhan, apalagi sampe terjadi penyesalan.
Bahkan pada tataran yang ekstremnya, ketika seseorang sudah percaya sama Allah, tidak
usah kemudian mencari jalan yang lain. Lalui saja kehidupannya dengan bergantung penuh
pada ketetapan Allah dan berjalan terus dengan kepercayaannya itu. Insya Allah di ujung
perjalanan kita, sungguh penuh dengan kejutan-kejutan indah.
Syahdan, seorang buruh pabrik bersedekah 1000 rupiah di akhir pengajian tentang sedekah.
Sedangkan uang 1000 ini sedianya untuk membeli bensin yang memang harganya saat itu Rp.
1.700 per liter. Jadi, 1000 rupiah tersebut untuk beli setengah liter bensin. Maklum, hanya
buruh perkebunan. Yang penting motornya bisa jalan bolak balik ladang ke rumah, rumah ke
ladang.
Tapi hari itu, dia memilih menyedekahkan uang 1000 rupiah itu untuk berharap keajaiban
sedekah bisa terjadi pada dirinya. Sungguh ia pun bosan dengan keadaan dirinya. Andai
sedekah bisa membuat dirinya bisa banyak rizki, kenapa tidak.
Segala keraguan ia tepis. Termasuk bayangan mendorong motornya apabila bensinnya habis
di tengah jalan. Ia mencoba meyakinkan dirinya, bahwa bensinnya pasti cukup membawanya
pulang ke rumah. Tapi di saat yang sama, ia pun mencoba menghibur bahwa ia siap saja
mendorong motornya itu sampe ke rumah. Inilah yang ia anggap perjuangan sedekah.
Dan apa yang terjadi, baru beberapa ratus meter saja, bensinnya sudah habis. Jadilah ia
mendorong motornya itu.
Mengeluhkah ia? Tidak. Ia siap. Maka ia nikmati saja kejadian ini. Ia dorong motor ini
dengan enteng, padahal motornya ini VESPA!
Dan pertolongan Allah itu benar-benar nyata. Baru beberapa langkah ia mendorong, ia
dihampiri oleh pengendara mobil kijang yang ternyata kawan lamanya yang sedang
berkunjung ke kampung tersebut. Oleh kawannya ini, ia dibelikan bensin yang cukup baginya
menghidupkan motor. Tidak cukup sampai di situ, pengendara kijang ini kemudian
memberikan uang 1jt di dalam amplop tertutup, yang baru ia ketahui jumlahnya ketika ia
sampai di rumah. Subhaanallaah, betapa benar janji Allah. Terlebih lagi terhadap mereka
yang tetap memegang teguh kepercayaannya kepada Allah.
***
Jangan Memperlemah Diri Lagi
Banyak keadaan-keadaan yang bisa memperlemah iman kita pada janji-janji-Nya.
Kiranya kesabaran dan usaha menambah ilmu, akan membuat kita terpelihara.
Saudaraku yang membaca kisah tentang “motor yang kehabisan bensin” sebelum tulisan ini,
saya akan mengajak saudara memperdalam situasinya, sambil belajar di mana gerangan
kesalahan kita ketika kita menempuh jalan-jalan Allah, jalan-jalan riyadhah. Yaitu banyak di
antara kita yang berubah menjadi pemarah kepada Allah lantaran menganggap cara-Nya
Allah tidak sakses membuat kita mencapai keinginan kita. Tidak sedikit para pencari
pertolongan Allah lalu malah berubah menjadi mengeluh kepada Allah, dan cenderung
menyalahkan Allah. Tidak sedikit juga orang-orang yang menjadi lemah sebab bersandar
kepada orang lain, setelah ia menyandarkan dirinya kepada Allah. Artinya, ia malah
berpaling kepada selain Allah. Langkah yang sudah betul, berubah di ujungnya.
Dan tidak sedikt juga yang berubah sebab ia “keliru” bertanya kepada yang tidak luas
ilmunya. Terus terang, saya sendiri juga kadang “kerepotan” dengan pertanyaan-pertanyaan
jamaah, yang mana ia konfirmasikan ilmu-ilmu tentang sedekah kepada para ustadz yang
“tidak sepaham”. Akhirnya, tidak sedikit mereka yang malah jadi dosa. Sudah mah jadi
menyesal, mereka bahkan su-udzdzan kepada saya.
Saya kerap memberitahu, bahwa ketika jalan ibadah; sedekah, shalat-shalat sunnah, dan doa
ditempuh, maka ia pasti akan berhasil. Tinggal tunggu waktu. Sambil mengisi waktu,
tempuhlah juga jalan kesabaran dan keistiqamahan menegakkan terus ibadah-ibadah tersebut
sambil menanti penuh harap kepada Allah Yang Tidak Pernah Mengecewakan.
Baik, sesuai dengan mukaddimah di sub tulisan ini, saya akan ajak saudara memperdalam
situasi kisah motor yang kehabisan bensin tersebut.
Pada kasus motor yang kehabisan bensin, ia tidak akan mendapatkan berkah ketemu dengan
pengendara kijang andai ia “beralih” kepada bantuan orang lain. Misal begini, setelah sadar
bahwa ia “meminjamkan” uang kepada Allah, lalu ia menjadi tahu bahwa bensinnya
dikhawatirkan tidak cukup, ia kemudian memutuskan untuk “meminjam” kepada orang lain.
Menurut saya, ini sama saja tidak menyempurnakan kepercayaannya kepada Allah. Orang
lain menganggap ini sebagai ikhtiar, sedang saya menyebutnya kepercayaan yang lemah.
Makin kita pasrah kepada Allah, semakin enak kita “mengadukan” kelemahan-kelemahan
kita.
Dan niscaya juga ia bertambah lemah, andai ia benar-benar meminjam kepada manusia.
Apalagi kalau orang yang ia pinjam duitnya itu menyalahkan dia. Misal, terjadi dialog:
(+) Mas, boleh saya pinjam uang…?
(-) Buat apa…?
(+) Buat beli bensin.
(-) Lah, emangnya kenapa bensinnya, habis?
(+) Belum. Tapi kayaknya dikit lagi juga habis.
(-) Udah tahu bensin bakalan habis, koq masih dibawa juga motornya.
(+) Tadinya bawa duit Mas. Buat beli bensin.
(-) Sekarang mana duitnya? Koq minjam?
(+) Dipakai buat sedekah. Habis itu, saya ga ada duit lagi.
Orang yang dimintakan duitnya ini barangkali tertawa… “Mas, seribu kali percaya sama si
ustadz tersebut, mbok ya mikir. Udah tahu bensin udah mau habis, dan uang tersebut mau
digunakan untuk membeli bensin, eh, malah disedekahin. Ini sama saja nyulitin diri sendiri.
Coba kalo bener-bener mogok, dan mogoknya bukan karena motornya rusak? Tapi karena
bensinnya habis? Sudah mah susah, malu lagi…”.
Pengendara motor ini akan makin tertekan, manakala ia makin disudutkan, “Mas, malah mas
ini membuat sulit orang saja. Lain kali kalo mau sedekah, pikirin dulu kebutuhan sendiri.
Jangan sampe bikin orang susah saja”.
Wah, coba. Udah mah engga dapet, dihina dan diperlemah pula. Dan orang tersebut tidak
salah. Kelihatannya kan betul. Tapi inilah cerita sedekah. Kalo normal-normal saja, ya ga ada
keajaiban sedekah.
Taro kata begini, dia minjem, lalu bener-bener dapet pinjaman untuk beli bensin, maka ga
bakal ketemu dengan pengemudi kijang yang membuatnya dapat uang 1000x lipat dari yang
ia sedekahin. Koq gitu? Lah iya, kan lancar. Ga ada “penghentian waktu” atau “penghentian
perjalanan”, sebab bensinnya penuh dan motornya ga mogok. Kalo begini, mana ketemu
dengan si pengendara kijang.
Percayalah sama Allah. Tempuhlah jalan-jalan riyadhah. Dan jangan menyisakan
sedikit pun ruang di hati, bahwa kita masih butuh bantuan manusia. Kita hanya butuh
bantuan Allah saja. Bukan yang lain.
0 komentar:
Post a Comment