10 July 2009

KDW0105 Seri 05 dari 41 seri/esai

Modul Kuliah : Kuliah Dasar Wisatahati / KDW-01
Materi MOdul : Kuliah Tauhid
Judul Materi : Semua Ada Waktu, Semua Ada Akhirnya
Seri Materi : KDW0105 Seri 05 dari 41 seri/esai

Sebagaimana malam yang segera akan berakhir dan berganti dengan pagi. Segala
sesuatu juga ada akhirnya. Termasuk segala permasalahan yang kita hadapi. Ia
ada ujungnya. Amal saleh kitalah yang mempercepat perjalanan itu.
Ada kisah seorang ibu muda. Sebut saja T. Beliau memproses perceraiannya sejak tahun
2001. Gak selesai-selesai. Alih-alih berharap bisa bercerai cepat supaya bisa memulai hidup
baru, eh malah beberapa ujian kehidupan muncul. Ibunya menyuruhnya bersabar. “Semua
ada waktunya”, begitu nasihat ibunya.
Setelah sekian tahun, ia diberitahu ibunya agar bersedekah dengan apa yang ia punya.
Sedekah yang besar. Bersedekahlah ia.
Dua tahunan terakhir, ia perbaiki hidupnya. Bila sebelumnya ia belum berjilbab, ia lalu
berjilbab dan memperbanyak taubat. Ia usahakan sering mendatangi pengajian. Kegiatankegiatan
sosial ia ikuti. Ia lupakan persoalan perceraiannya. Ia segarkan hidupnya dengan
Karunia Allah yang lain. Dan memang, banyak manusia yang gara-gara secuplik drama
kehidupannya yang tidak enak, lantas kemudian membuat matanya tertutup dari Karunia
Allah yang sesungguhnya masih teramat besar. Kesusahan hidup, ga sebanding dengan
Karunia Allah berupa “hidup” itu sendiri.
Dan akhirnya waktu yang ia tunggu, tiba. 2 tahun sejak ia bersedekah sesuatu yang besar, ia
mendapatkan keputusan cerai. Sepertinya tiba-tiba, dan berproses dengan sangat mudah.
Beda sekali dengan waktu-waktu sebelumnya.
Yang luar biasa, mantan suaminya ini memberinya uang yang sangat besar. Ia mengaku
tersentuh dengan ketabahan mantan istrinya, dan ia meminta maaf tidak bisa mengurus
anaknya. Sebagai kompensasinya, suaminya ini memberi uang nyaris 1 milyar dari hasil
tabungannya pasca bercerai. Bukan harta gono gini. Mantan suaminya hanya minta
diikhlaskan segala kesalahannya. Yang membuat ibu T ini agak berdebar dengan cara kerja
Allah, mantan suaminya ini bercerita, tabungan yang nyaris 1 milyar tersebut adalah
tabungan 2 tahun terakhir. Masya Allah, suaminya ini “bekerja” sebab diatur Allah. Yang
mana hasil kerjaannya itu adalah buah sabar dan sedekahnya.
Dalam satu kesempatan, si ibu T ini bercerita, barangkali kalau dulu Allah mengabulkan
kehendaknya, maka ia mendapatkan hak cerai, tapi tidak mendapatkan uang 1 milyar. Hari
gini, uang 1 juta saja besar sekali, apalagi 1 milyar.
Saya mengatakan, ya, itulah buah dari dukungan ibunya, buah dari kesabarannya dan hasil
kemudahan dan berkah dari sedekahnya… Dan benarlah juga keyakinan orang-orang tua
dulu, kalau udah waktunya, ya waktunya. Sebagaimana orang-orang tua yang mengajarkan,
kalau udah rizkinya, ya rizkinya.

Kadang saya berpikir ya, andai kita tidak melakukan banyak hal, asal kita perbaiki saja hidup
kita, cara kita hidup, dan memaknai ulang hidup kita untuk lebih lagi beribadah kepada Allah
dan bermanfaat untuk sesama, rasanya hidup kita akan benar dengan sendirinya. Keinginan
kita juga akan terjawab dengan sendirinya. Dan masalah akan selesai dengan sendirinya.
Tapi ya setelah dipikir-pikir lagi, engga juga disebut “tidak melakukan apa-apa” bagi mereka
yang memperbaiki dirinya. Karena itulah ikhtiarnya. Sama dengan ketika saya menyebut
ikhtiar bagi mereka yang bermasalah adalah taubat dan memperbanyak amal saleh. Ada
kemudian yang protes, harus tetap ada ikhtiarnya. Saya menyebut, sudahlah, ikhtiarnya ya
itu: taubat dan amal saleh (memperbaiki shalat, menambah shalat-shalat sunnah, membaca al
Qur’an, sedekah, dll). Sebab nyatanya, tidak gampang loh untuk bisa bertaubat dan beramal
saleh. Kalaulah Allah tidak memudahkan jalan, maka jalan menuju pertaubatan dan amal
saleh tidak akan mudah jalannya.
Belajar dari kasus perceraian berkahnya Ibu T di atas, apa kira-kira yang bisa dipetik oleh
Para Peserta KuliahOnline? Ketika ceramah esai ini saya sampaikan langsung, ada yang
bertanya, apakah bisa selesai dalam 2 tahun juga apabila Ibu T ini tidak melakukan sesuatu?
Lalu yang bertanya ini menjawab sendiri, kayaknya engga ya? Barangkali sedekahnya itu
yang mempercepat. Yang lainnya menjawab, keikhlasannya yang mempercepat. Sebab
sebelumnya ia tidak ikhlas menerima perceraian itu. Dan yang lainnya itu menjawab, doa
ibunya yang juga turut membantu percepatan perceraiannya dan kemudian juga mendapatkan
berkah uang 1 milyar.
“Perjalanan waktu” bisa dipercepat atau menjadi lambat, salah satunya adalah karena
keyakinan kita sendiri kepada Allah, dan amal keseharian kita. Hakikatnya, kalau kita selalu
merasa ditemani Allah, maka sesungguhnya tidak akan pernah ada masalah buat kita.
Bukankah yang kita cari di dunia ini adalah kedekatan diri dengan Allah? Kalaulah kita harus
mendekatkan diri kita melalui pintu masalah, rasanya itulah berkah buat kita.
***
Tidak ada yang datang kepada Allah,
kecuali Allah pun datang kepadanya.
Ada yang berharap ketika ia datang kepada Allah, maka Allah betul-betul datang kepadanya.
Datang dengan segenap pertolongan dan kebaikan Allah. Dan Allah pasti datang. Tapi
memang Kehendak-Nya, bukan kehendak kita. Kita hanya bisa memohon, bukan memaksa.
Kita hanya bisa meminta, bukan mengatur.
Selain Ibu T di atas, adalah Zaidi. Ia bercerita, ia tidak “nyampe-nyampe”. Ia mendekati
Allah dengan harapan dan doa agar Allah mau membayarkan hutangnya. Segala riyadhah ia
tempuh. Namun serasa tumpul benar. Maksudnya, hutangnya tetap ga kebayar-bayar. Sama
saja seperti dengan tidak datang kepada Allah. Malah datang ujian-ujian baru kepadanya
setelah sekian bulan mendisiplinkan riyadhah. Seakan-akan membenarkan pandangan bahwa
kalau mendekatkan diri kepada Allah, ujiannya akan banyak.
Zaidi bertanya seperti yang lain bertanya: Koq mengapa tanda-tanda bisa kebayar hutang
belum muncul juga? Koq ujian hidup bertambah berat? Koq Allah kayak mengabaikan dia?
Saya menyodorkan beberapa jawaban.

Pertama, Allah sedang berkenan menyegerakan segala akibat buruk, dengan jumlah takaran
yang sebenernya sudah dikurangi jauh dari yang semestinya diterima. Biar bagaimana, akibat
buruk harus diterima. Inilah keadilan-Nya. Jika tidak mau akibat buruk diterima setara
dengan keburukan yang harus diterima, maka bertaubat adalah jawabannya. Taubat yang
sempurna. Yang serius. Juga amal salehnya harus hebat. Kalau tidak setara, tetap harus ada
yang dibayar.
Yang begini ini, kurang disadari oleh seseorang. Katakanlah ia pernah berzina. Sedang
berzina itu “kontrak susahnya” harus 40 tahun. Atau malah katakanlah ia berzina dalam
keadaan ia menjadi suami atau istri dari seseorang. Hukumannya bagi yang berzina dan ia
dalam keadaan menikah, adalah hukuman mati. Bayangkan jika sebenernya Allah masih
kasih ia kehidupan. Andai pun sepanjang hidup ia pakai untuk pertaubatan, dan
penderitaannya ia terima sebagai satu kepatutan yang menggugurkan dosanya, adalah wajar
juga kayaknya. Dan itulah Allah. Allah Maha Pengasih Maha Penyayang. Ia hukum hamba-
Nya dengan memperhatikan segala kebaikan diri orang itu dan diri orang-orang di sekeliling
orang itu. Ada yang Allah ringankan sebab ia punya anak yatim. Ada yang diringankan sebab
ia pernah membantu seseorang. Ada yang diringankan sebab istrinya mendoakan tanpa henti.
Ada yang diringankan sebab orang tuanya senantiasa memanjatkan doa untuknya. Ada yang
diringankan sebab anaknya sedang menuntut ilmu. Dan banyak lagi pertimbangan Allah yang
tidak kita mengerti kecuali hanya dengan jalan husnudzdzan kepada-Nya. Baik sangka
kepada-Nya.
Maka jawaban yang berikutnya
dari pertanyaan Zaidi di atas adalah justru seputar dosanya
sendiri. Bagaimana dosanya dia sebelum akhirnya kemudian berjalan menuju Allah, menuju
pertolongan-Nya? Tanyakan dengan jujur. Bila memang dosanya banyak sekali, ya wajar saja
kan? Ibarat tagihan dari amal keburukan, amal-amal kebaikan kayaknya buat bayar dulu
keburukan-keburukan yang ia lakukan selama itu.
Bisa juga dikaitkan bahwa Allah Maha Tahu. Nikmatin saja dulu “kedekatan” diri dengan
Allah, dan pembiasaan ibadah tersebut. Jangan-jangan, kalau Allah mempercepat ia selesai
dari masalah, malah nanti ga bisa istiqamah lagi ibadahnya. Keburu sibuk lagi, dan keburu
lupa lagi. Akhirnya, malah bermasalah lagi.
Anggap saja, ibadah dan disiplin ibadahnya ini sebagai latihan keistiqamahan. Apabila nanti
hutangnya sudah terbayar, atau ia sudah kembali menjadi pengusaha yang sakses, ia bisa
tetap memelihara dhuhanya, bisa memelihara sunnah-sunnah qabliyah ba’diyahnya, bisa
memelihara seluruh amalan-amalan wajibnya. Hingga ia bisa menempatkan Allah jauh di atas
dunia yang ia cari, yang ia kumpulkan. Ini kan jadi semacam Training-Camp buat dia.
Belum lagi soal bala, soal keburukan, dan soal kematian, andai ini bisa dijadikan jawaban
yang ketiga. Maksudnya, harusnya ia keluar dari masalahnya, hidup enak dan bahagia dengan
amal-amal salehnya. Namun, ia berumur pendek, dan ada bala yang lebih besar yang bakalan
datang. Lalu dua hal ini dihapuskan oleh Allah. Bila menyadari hal ini, tambahin saja lagi
load kebaikannya. Jangan ragu menambah vomue ibadah. Makin kenceng ujiannya, makin
kenceng ibadahnya. Makin keras angin masalah yang menerpanya, makin sungguh-sungguh
ibadahnya. Jangan justru malah surut.
Jawaban yang ke-empat, ada derajat yang lebih tinggi yang Allah siapkan untuk dirinya. Ya,
banyak yang lebih naik kehidupannya setelah kesusahan demi kesusahan ia alami. Ada lebih
banyak karunia Allah yang bakal diterima setelah kesulitan hidup yang dihadapinya. Saya
pribadi menyadari bahwa sungguh, ada karunia Allah yang teramat besar di balik segala rupa
kesulitan dan permasalahan hidup yang dihadapi. Pada permulaannya, ia hanya butuh
keikhlasan menerima hidup ini apa adanya, memperbanyak syukur, berpikir positif, dan
kemudian menumbuhkan iman dan memperbanyak amal saleh.
Dunia, bila terlalu dikejar, juga tidak akan mampu memberikan apa-apa. Dan lagian, setiap
perjalanan, termasuk perjalanan mencari solusi, pasti ada akhirnya. Insya Allah jawaban akan
Allah berikan. Baru saja beberapa bulan kan? Belum beberapa tahun? Atau katakanlah, baru
beberapa tahun. Belum bertahun-tahun. Sedang kalau kita ingat dosa kita, sudah berapa tahun
kita kerjakan? Jangan-jangan sepanjang kita hidup, mulai dari akil baligh sampe sekarang ini,
hidup kita banyak bener dosanya. Belum sebanding sama amalan ibadah kita.
Percayalah, setiap perjalanan ada akhirnya. Hanya karena bebannya berat saja, perjalanan kita
cenderung seperti lambat. Tapi, lambat pun, tetap berjalan. Sesungguhnya tidak diam di
tempat. Asal kita terus berjalan. Tidak berhenti.
Sekali lagi, kejar saja perjalanan waktu dengan amal saleh, dan tetap husnudzdzan kepada
Allah. Tetap positif kepada Allah.
Sampe ketemu di esai perkuliahan tauhid berikutnya. Kepada Allah juga kita memohon agar
Allah bukakan terus mata hati kita tentang Kebesaran dan Kekuasaan-Nya. Baarokawloohu
lanaa. Amin.

0 komentar:

Post a Comment