Penulis: Henri Shalahuddin
muslimdaily.netUmat Islam menempatkan al-Qur'an sebagai sumber utama memahami cara berislam secara benar. Sejak generasi Sahabat hingga kini, para ulama bersungguh-sungguh mendarmabaktikan hidupnya untuk menggali makna-makna yang terkandung dalam al-Qur'an. Meskipun mereka hidup di jaman dan tempat yang berbeda, namun hasil kajian yang dituangkan dalam kitab-kitab tafsir secara prinsip tidak jauh berbeda. Adanya beberapa perbedaan penafsiran di kalangan para ulama yang bermartabat lebih bersifat variatif dan bukan kontradiktif. Sebab dalam menafsirkan ayat-ayat, mereka mengacu pada prinsip dan kaedah 'Ulum al-Qur'an yang benar, yang diwariskan secara terpercaya dari generasi ke generasi. Perkembangan prinsip kajian al-Qur'an melalui metode sanad (mata rantai) dari ulama-ulama yang bermartabat senantiasa disandarkan pada konsep wahyu. Landasan sanad yang terbina dalam tradisi keilmuan Islam dengan sendirinya tidak memberi ruang bagi berkembangnya paham relativisme dan spekulasi akal yang tidak bertanggung jawab. Dalam sebuah atsar, Abu Hurairah menuturkan: “Sesungguhnya ilmu ini (sanad) adalah agama. Oleh sebab itu, perhatikanlah dari siapa kamu mengambil agamamu.”
Landasan sanad ini secara konstan terjaga oleh tradisi ilmu yang mengakar kuat dalam masyarakat Islam hingga abad pertengahan. Pusat-pusat pembelajaran seperti masjid, halaqah (lingkar studi), madrasah, dsb., selalu dijubeli masyarakat yang haus ilmu. Bahkan di saat-saat kondisi politik sedang kacau dan kerusuhan bermunculan di mana-mana, namun tradisi ilmu tetap berjalan. Dalam suasana seperti itu, sejumlah ulama dan cendekiawan Muslim masih terus bermunculan dan memberi konstribusi bagi peradaban manusia.
Nasib Studi al-Qur'an Kini
Meskipun di sejumlah lembaga pendidikan Islam di Indonesia masih eksis memegang tradisi sanad dalam mengembangkan studi al-Qur'an, namun di beberapa lembaga pendidikan tinggi Islam, justru kondisinya berbanding terbalik. Dengan alasan "objektivitas ilmiah", netralitas hasil kajian yang tidak memihak dan menghilangkan nuansa ideologis, studi Islam terlebih lagi studi al-Qur'an dikembangkan secara liar. Tradisi sanad dianggap ketinggalan dan dipandang sebagai produk abad pertengahan yang statis dan bernuansa Islam klasik.
muslimdaily.netUmat Islam menempatkan al-Qur'an sebagai sumber utama memahami cara berislam secara benar. Sejak generasi Sahabat hingga kini, para ulama bersungguh-sungguh mendarmabaktikan hidupnya untuk menggali makna-makna yang terkandung dalam al-Qur'an. Meskipun mereka hidup di jaman dan tempat yang berbeda, namun hasil kajian yang dituangkan dalam kitab-kitab tafsir secara prinsip tidak jauh berbeda. Adanya beberapa perbedaan penafsiran di kalangan para ulama yang bermartabat lebih bersifat variatif dan bukan kontradiktif. Sebab dalam menafsirkan ayat-ayat, mereka mengacu pada prinsip dan kaedah 'Ulum al-Qur'an yang benar, yang diwariskan secara terpercaya dari generasi ke generasi. Perkembangan prinsip kajian al-Qur'an melalui metode sanad (mata rantai) dari ulama-ulama yang bermartabat senantiasa disandarkan pada konsep wahyu. Landasan sanad yang terbina dalam tradisi keilmuan Islam dengan sendirinya tidak memberi ruang bagi berkembangnya paham relativisme dan spekulasi akal yang tidak bertanggung jawab. Dalam sebuah atsar, Abu Hurairah menuturkan: “Sesungguhnya ilmu ini (sanad) adalah agama. Oleh sebab itu, perhatikanlah dari siapa kamu mengambil agamamu.”
Landasan sanad ini secara konstan terjaga oleh tradisi ilmu yang mengakar kuat dalam masyarakat Islam hingga abad pertengahan. Pusat-pusat pembelajaran seperti masjid, halaqah (lingkar studi), madrasah, dsb., selalu dijubeli masyarakat yang haus ilmu. Bahkan di saat-saat kondisi politik sedang kacau dan kerusuhan bermunculan di mana-mana, namun tradisi ilmu tetap berjalan. Dalam suasana seperti itu, sejumlah ulama dan cendekiawan Muslim masih terus bermunculan dan memberi konstribusi bagi peradaban manusia.
Nasib Studi al-Qur'an Kini
Meskipun di sejumlah lembaga pendidikan Islam di Indonesia masih eksis memegang tradisi sanad dalam mengembangkan studi al-Qur'an, namun di beberapa lembaga pendidikan tinggi Islam, justru kondisinya berbanding terbalik. Dengan alasan "objektivitas ilmiah", netralitas hasil kajian yang tidak memihak dan menghilangkan nuansa ideologis, studi Islam terlebih lagi studi al-Qur'an dikembangkan secara liar. Tradisi sanad dianggap ketinggalan dan dipandang sebagai produk abad pertengahan yang statis dan bernuansa Islam klasik.
Sebagai gantinya, hasil kajian tokoh-tokoh orientalis dan liberal dijadikan rujukan utama dalam studi Islam. Dalam kacamata mereka, ajaran Islam seringkali dipaksa untuk berkompromi dengan realitas yang berkembang di masyarakat (sosiologis). Maka muncullah studi Islam berprespektif gender, Syariat berbasis HAM, Quran untuk perempuan, Islam yang "ramah", dst. Bukan sebaliknya, yakni Gender dalam perspektif Islam, HAM berbasis Syariat, perempuan dalam al-Qur'an, dst. Sebab ajaran-ajaran Islam tidak lagi dipandang sebagai acuan dasar dalam memahami realitas, tapi realitaslah yang dinobatkan berkuasa untuk menentukan corak Islam kekinian.
Buku "Pengarusutamaan Gender Dalam Kurikulum IAIN", adalah contoh kecil di antara gelombang pengeliruan studi Islam yang dilakukan para sarjana liberal. Buku ini merupakan kumpulan kurikulum studi Islam di salah satu perguruan tinggi Islam negeri di Indonesia yang terbit atas kerjasama dengan McGill CIDA. Sebagai contoh, misalnya Matakuliah "Ulum al-Qur’an I" (MKK, 2 SKS, semester II), dijelaskan bahwa hal-hal yang dikaji dalam perkuliahan antara lain persoalan wahyu, proses pewahyuan, sejarah teks al-Qur'an, asbab al-nuzul, nasikh mansukh, teori evolusi syari'ah, dan kaidah-kaidah tafsir.
Lebih lanjut dinyatakan bahwa: "Pendekatan dalam kuliah dilakukan sedapat mungkin berperspektif gender dengan mengemukakan berbagai contoh yang mendukung ke arah kesetaraan gender". Sedangkan tujuan matakuliah ini di antaranya: "Mahasiswa akan dapat menjelaskan situasi dan kondisi historis saat ayat-ayat al-Qur'an diwahyukan sehingga mampu mengambil pesan moralnya".
Dengan menyimak uraian pendekatan di atas, maka dipahami bahwa ayat-ayat seperti QS. 2:228 dan 282, QS. 4:3, 11 dan 34, QS. 33:59, dst., yang biasa dituding sebagai biang kezaliman dan penindasan terhadap perempuan harus ditafsiri ulang secara kontekstual. Sementara ayat-ayat seperti QS. 2:187, QS. 4:124 & 129, QS. 9:71, dst., yang mendukung paham kesetaraan gender harus ditafsirkan secara harfiyah, tekstual.
Sedangkan berkenaan dengan tujuannya, jika dicermati lebih jauh akan berpotensi untuk menolak legal formal aturan syariat yang tertuang dalam al-Qur'an. Karena hal tersebut mereka anggap bukan sebagai substansi dan pesan moral dari sebuah ayat. Asumsi ini dikuatkan dengan penekanan penjelasan tentang kondisi historis saat ayat-ayat al-Qur'an diwahyukan pada abad 7M, yang berbeda dengan realitas yang berkembang saat ini.
Apalagi dalam jadwal topik-topik perkuliahan yang diajarkan menyebutkan bahwa Makki (ayat-ayat yang diwahyukan sebelum hijrah) bersifat universal, sedangkan Madani (ayat-ayat yang diwahyukan setelah hijrah yang banyak menyinggung masalah hukum Islam) bersifat temporal. Sementara untuk Metodologi tafsir al-Qur'an yang menjadi salah satu topik perkuliahan, diarahkan mengkaji tafsir gaya Aminah Wadud. Seorang tokoh feminis liberal radikal yang tersohor berkat keberaniaannya tampil sebagai khatib dan imam shalat jumat dengan jama'ah campur baur antara laki-laki dan perempuan.
Bahan rujukan memahami al-Qur'an
Liberalisasi al-Qur'an tidak dilakukan secara serampangan, sebaliknya ia adalah sebuah konspirasi dan makar tingkat tinggi untuk merusak ajaran Islam dari dalam. Makar liberalisasi ini diprogram secara massif dan sistemik melalui kurikulum yang siap menghasilkan sarjana-sarjana Muslim yang qualified dalam mengelabuhi makna akidah dan syariat. Ungkapan ini mungkin dipandang bombastis, emosional dan provokatif. Tetapi kesan tersebut akan hilang jika mencermati buku-buku yang dijadikan bahan rujukan untuk matakuliah Ulum al-Qur’an I, di antaranya seperti Toward Understanding Islamic Law (Abdullahi Ahmad al-Naim), Wanita Dalam al-Qur'an (Aminah Wadud Muhsin), Perempuan Tertindas (Hamim Ilyas dkk), al-Kitab wa al-Qur'an (M. Syahrur), al-Risalah al-Saniyah (Mahmood Muhammad Toha), Mafhum al-Nas (Nasr Hamid Abu Zayd), Tafsir Kontekstual al-Qur'an (Taufiq Adnan Amal dan Syamsu Rizal Panggabean). Meskipun di samping itu, ada beberapa buku rujukan yang benar, namun jumlahnya sangat minor dan diletakkan di akhir.
Buku-buku rujukan yang kontroversial ini ditulis oleh para pemuja liberalisme radikal yang gemar mencetuskan pemikiran nyeleneh, bahkan beberapa di antaranya telah difatwa murtad, kabur dari negaranya dan ada yang dihukum mati. Kenyelenehan mereka jelas terlihat saat memunculkan gagasan bahwa al-Qur'an adalah produk budaya, mengingkari syariah, batasan aurat yang relatif dan berubah-ubah, menuduh bahwa mushaf yang ada sekarang ini adalah produk rekayasa politik Usman bin Affan r.a., sehingga diusulkan menerbitkan al-Qur'an Edisi Kritis, menghalalkan homoseksual, memberi stigma bahwa ciri utama Islam fundamentalis adalah mereka yang menolak menerapkan metode Kristen dan Yahudi (hermeneutika) untuk memahami al-Qur'an, dll.
Buku Aminah Wadud yang berkenaan dengan wanita dan al-Qur'an (Quran and Women) misalnya, tidak hanya dijadikan rujukan untuk matakuliah 'Ulum al-Qur'an saja, tapi juga digunakan sebagai 5 matakuliah lainnya, seperti Ulum Hadis, Tafsir, Filsafat Hukum Islam, Masail Fiqh dan Aliran Modern Dalam Islam. Demikian halnya dengan karya Hamim Ilyas dkk, Perempuan Tertindas juga dijadikan rujukan untuk 6 mata kuliah, yaitu Ulum al-Qur'an, Ushul Fiqh, Fiqh, Masail Fiqh, Sejarah Peradaban Islam dan Ilmu Dakwah.
Ketimpangan seperti ini juga menjadi tradisi di banyak matakuliah kajian keislaman. Maka dengan menetapkan satu buku sebagai rujukan untuk bermacam-macam matakuliah, mengesankan bahwa liberalisasi studi Islam ternyata dilakukan secara tidak elegan dan toleran. Sebaliknya, ia dipenuhi pemaksaan, jumud, penuh intrik dan ambisi pribadi. Sebut saja misalnya buku "Argumen Kesetaraan Gender" karya Nazaruddin Umar, dinobatkan sebagai rujukan untuk 4 mata kuliah, yaitu Ulum al-Hadis, Tafsir, Ushul Fiqh, Studi Tokoh Sastra Arab. Padahal penulisnya sendiri bukanlah seorang pakar sastra Arab dan tidak memiliki latar belakang di bidang ini. Di samping itu, buku ini juga tidak ada kaitan khusus dengan kajian ilmu Hadits, apalagi ilmu ushul fiqh.
Uniknya lagi buku Membina keluarga Mawaddah wa Rahmah dalam bingkai Sunah Nabi yang terbit atas kerjasama dengan Ford Foundation juga dijadikan sebagai rujukan untuk 3 matakuliah 'Ulum al-Hadis, Hadis dan Ilmu Dakwah. Padahal buku ini banyak menolak hadis-hadis yang tidak sejalan dengan paham feminisme Barat. Sebagai contoh, di antara isu yang dibahas dalam buku ini adalah mengkritik Hadits Nabi tentang ciri-ciri wanita salehah. Tiga ciri kesalehan wanita seperti hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dan al-Baihaqi, yaitu sikap menyenangkan pandangan suaminya, mematuhi perintahnya, dan menjaga kehormatan dirinya dan harta suaminya di saat suaminya pergi, malah dijadikan objek kemarahan. Baginya, Hadits ini dianggap tidak adil dan hanya berisi tuntutan sepihak terhadap perempuan.
Meskipun penulisnya mengakui bahwa hadits ini adalah Hadits yang sahih, tidak menyalahi al-Qur'an, tidak menyalahi amalan ulama salaf dan tidak bertentangan dengan akal sehat, tetapi penulisnya melarang kalau Hadits ini diamalkan apa adanya, secara semestinya dan tekstual. Sebaliknya, Hadits ini harus dipahami secara kontekstual-sosiologis. Karena kesalehan wanita itu relatif dan bisa berubah menurut tempat, zaman dan kebutuhan.
Penutup
Studi al-Qur'an adalah jantung studi Islam, karena memang semua ilmu keislaman bersumber darinya. Sifat kewahyuan al-Qur'an yang final dan universal, mempengaruhi karakter pendekatan studi al-Qur'an untuk tidak bisa dilepaskan begitu saja dari aspek-aspek wahyu dan iman. Jika saja Rasulullah saat menerima wahyu mengalami perubahan fisik yang luar biasa, misalnya beliau terlihat sangat takut dan minta diselimuti, terkadang dahi beliau bercucuran keringat padahal saat itu sedang musim dingin, terkadang nampak wajah beliau kemerah-merahan dengan suara yang tidak beraturan dan terkadang tubuhnya menjadi sangat berat, sampai-sampai paha Zayd bin Tsabit terasa mau patah ketika menahan kaki Rasulullah yang tiba-tiba kedatangan wahyu. Maka apakah layak seorang Muslim saat menggali kandungan al-Qur'an mencampakkan aspek kewahyuannya untuk ditukar dengan spekulasi akal yang tidak terarah dan permisif untuk disusupi aneka purba sangka? Tidakkah merusak studi al-Qur'an berarti sebuah konspirasi memutuskan umat dari akar khazanahnya?! Wallahu a'lam wa ahkam bi l-sawab.
0 komentar:
Post a Comment